Hermeneutika : Matematika dan Puasa
Rabu, 17 Juli 2013
0
komentar
PENGANTAR
Salah satu faktor
yang menarik dalam kajian terhadap khasanah Islam klasik yang dikembangkan
oleh para sarjana dan ilmuwan Muslim
adalah kekayaan makna yang terkandung dalam naskah-naskah ilmiah mereka dari
berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Sesuai dengan basis ontologis mereka yang kaya dan mendalam, paradigma
epistemologis yang plural, dan logika
metodologis yang longgar (tidak kaku seperti pada positivisme), maka
manuskrip-manuskrip ilmiah mereka mengandung banyak penafsiran dan
pemaknaan.
Menurut Seyyed Hossein Nasr dalam Science and Civilization in Islam
(1968), agar penafsiran terhadap khasanah keilmuan Islam klasik tersebut dapat
memperoleh makna yang sahih dan dapat dipertanggungjawabkan, seseorang harus
memahami terlebih dahulu prinsip-prinsip Islam yang menjadi basis utama
paradigma metafisika, ontologi dan epistemologi sarjana Muslim. Untuk memahami sains Islam sampai ke dasarnya
dibutuhkan pengertian tentang beberapa prinsip Islam yang menjadi matriks di mana di dalamnya sains Islam punya
makna. Nasr menandaskan bahwa tradisi
sains Islam tidak dapat dipahami secara tepat jika dipandang dari perspektif
lain, misalnya dari pandangan peradaban Barat modern yang
sekuler-materialistik.
Nah, sesuai dengan paradigma sains Islam yang memandang
kesatupaduan dan interrelasi alam kosmos dengan berbagai derajat eksistensinya,
telaah terhadap naskah matematika di kalangan sarjana Muslim pun mesti
menunjukkan hal yang sama. Pada beberapa
tulisan terdahulu telah dipaparkan interrelasi matematika dengan studi bidang
keilmuan lainnya seperti etika dan estetika.
Kali ini akan dielaborasi sedikit tentang hermeneutika matematika, yaitu
studi penafsiran terhadap teks-teks dan naskah-naskah matematika karya sarjana
Muslim; khususnya lagi hubungan matematika dengan ibadah yang tengah kita
jalani, yaitu puasa.
HERMENEUTIKA MATEMATIKA
Hermeneutika
merupakan studi pemahaman dan penafsiran (hermeneuin artinya penafsiran,
interpretasi) terhadap simbol-simbol untuk menangkap atau menyingkap makna
(petanda) yang terkandung dalam simbol-simbol (penanda) tersebut. Di balik teks-teks literal tersimpan atau
tersembunyi makna-makna yang menggambarkan pandangan-dunia dan
pengertian-pengertian yang lebih mendalam.
Lambang teks adalah wadah, dan makna teks adalah isi. Dengan demikian, hermeneutika matematika
adalah studi penafsiran terhadap teks-teks matematika untuk menyingkapkan
makna-makna yang tersembunyi di balik lambang teks-teks tersebut sedemikian
rupa sehingga diperoleh pemahaman yang lebih utuh dan mendalam terhadap
asumsi-asumsi dasar, cara-pandang dan paradigma yang dianut oleh sarjana
matematikawan Muslim.
Nasr (1968)
menyebutkan bahwa salah satu alasan mengapa matematika punya daya tarik kuat
bagi sarjana Muslim adalah sifatnya yang abstrak memberikan jembatan antara
dunia multiplisitas dan unitas.
Matematika merupakan susunan lambang-lambang yang cocok bagi alam;
lambang yang bagaikan kunci untuk membuka teks kosmos. Mungkin persepsi seperti ini mirip dengan
pernyataan Galileo Galilei bahwa alam ditulis dalam bahasa matematika, namun
pemaknaan terhadap kenyataan ini sangatlah berbeda.
Galileo dan sarjana Barat lainnya memahami kenyataan itu dalam
perspektif matematika semata-mata instrumen untuk menguasai alam, sedangkan
sarjana Muslim memahaminya dalam perspektif matematika sebagai pintu gerbang
menuju alam metafisis, alam unitas.
Sementara matematika pada sarjana Barat modern telah kehilangan makna
transenden dan mengalami mekanisasi-materialistik (berhenti pada simbol), maka
matematika pada sarjana Muslim memiliki makna-makna simbolik yang kaya dan
mendalam tanpa mengurangi kemampuan teknis matematika mereka sebagaimana yang
telah ditunjukkan dalam beberapa tulisan terdahulu.
MATEMATIKA DAN PUASA
Sejauh mana relevansi matematika dan
puasa? Apakah relasi ini terlalu
dipaksakan dan dibuat-buat? Uraian
berikut mengungkapkan relasi alamiah dan sekaligus ilmiah antara studi matematika
dan praktek ibadah puasa.
Dalam tulisan dua minggu lalu, Matematika
dan Etika, sekilas telah disebutkan bahwa studi matematika melatih
seseorang untuk berwatak dan bersikap sederhana. Studi matematika mendorong seseorang untuk
berpikir jernih dengan kepala dingin dan tenang
tanpa emosi yang impulsif.
Belajar matematika adalah belajar ketenangan, keheningan, kesunyian
tanpa keterlibatan hasrat, syahwat, dan emosi yang biasanya meledak-ledak dan
reaktif. Pelajar yang menekuni
matematika harus siap sedia untuk hidup dalam dunia yang sunyi dari hiruk pikuk
keramaian, kehebohan, sensualitas, aksesoris.
Mungkin karena itulah banyak orang yang enggan menekuni matematika. Rendahnya minat pelajar kita menekuni
matematika secara serius dapat kita pahami sebagai keengganan mereka hidup
dalam kemandirian, kesederhanaan, kesunyian, dan kurangnya kehangatan
emosional. Seorang filsuf-matematikawan
dari Inggris, Bertrand Russel (w. 1970), menulis, “Matematika memang
mengandung kebenaran dan keindahan yang dingin dan sederhana tanpa memancing
reaksi dan jeratan yang memukau seperti lukisan atau musik; namun kebenaran
matematika demikian bening dan murni..” (Mysticism and Logic, 1917
dikutip dari Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, 1978).
(catt. Lihat pula Ilmu Pengetahuan Populer Jilid 2 hal. 52,
Grolier-Jakarta)
Karena pertimbangan demikianlah Ibn Miskawaih menganjurkan seluruh generasi
muda untuk aktif menekuni matematika, bukan harus untuk menjadi matematikawan,
namun sebagai metode pembinaan karakter yang tangguh, sederhana, mandiri, dan
tenang. Nah, di sini lah letak relevansi
studi matematika dan puasa. Puasa
merupakan ibadah yang esensinya bertujuan membentuk karakter yang mampu hidup
dalam kesederhanaan dan kesabaran. Puasa
merupakan sebuah metode yang diberikan Tuhan agar kita dapat mengendalikan
syahwat, hasrat, dan emosi di bawah arahan dan kendali sepenuhnya akal pikiran kita.
Menurut filsuf-teolog-etikawan
Muslim ternama, Nashiruddin al-Thusi (w.1274), kesimbangan
jiwa hanya dapat terwujud bila kita telah memfungsikan akal sebagai “managing
principle”, yakni apabila kita telah mengikuti petunjuk-petunjuk akal dan
mengendalikan hawa nafsu dan emosi menurut aturannya, dan bukan
sebaliknya. Puasa sebagaimana matematika
menuntut seseorang untuk tidak mudah impulsif, tidak mudah tergoda oleh
berbagai tarikan, dorongan dan stimulus eksternal, tidak tergiur oleh pesona
ke’wah’an gaya hidup penuh aksesori dan gengsi, tidak mudah terpesona oleh
hiruk pikuk keramaian, dan tidak larut dalam kehebohan dunia massa.
Matematika dan puasa melatih seseorang untuk tabah dan
sabar dalam menjalani kehidupan yang
hening, tenang, sunyi; hanya
Allah saja yang mengetahui niat dan amal ibadah puasanya (Sebuah hadis Qudsi
menyebutkan bahwa puasa adalah ibadah yang langsung ditujukan kepada Allah). Matematika dan puasa mempertajam penalaran
dan kemampuan kecerdasan emosional seseorang.
Matematika dan puasa dapat berperan sebagai alat uji ketabahan mental
dan kekuatan jiwa kita.
Dalam implikasinya, matematika dan puasa juga mempunyai
kesamaan. Meski menuntut hidup dalam
kesunyian dan keheningan, matematika dan puasa melahirkan efek-efek manfaat
yang luar biasa kepada umat manusia umumnya.
Studi matematika yang serba abstrak, secara paradoks, kata Morris Kline
(Jujun, 1978), justru mampu memberikan kemampuan kepada manusia untuk menguasai
dunia fisik, dan memberi pengaruh dalam hampir tiap segi dari kebudayaan
manusia. Kita saksikan bahwa dari studi
matematika lah tercipta sains dan teknologi digital komputer yang tanpanya
manusia sekarang tak bisa bekerja.
Matematika pula lah yang melahirkan statistika yang diterapkan untuk
seluruh bidang keilmuan, termasuk ilmu-ilmu sosial. (catt. Tambahkan dengan
keterangan dalam Ilmu Pengetahuan Populer Jilid 2 Bab Matematika).
Demikian pula halnya puasa. Tokoh-tokoh besar yang mempengaruhi
perjalanan sejarah dunia umumnya berlatarbelakang kehidupan yang penuh derita,
keras, sulit, dan sunyi. Ibn Sina,
Newton, dan Albert Einstein adalah contoh ilmuwan besar yang hidup dalam penuh
tempaan dan puasa dari berbagai kesenangan.
Mahatma Gandhi mampu mengusir penjajah kolonial Inggris berkat falsafah
hidupnya yang sederhana, mandiri, penuh ketenangan-kesunyian. Imam Khomeini yang secara spektakuler
berhasil melakukan Revolusi Islam Iran 1979 dan menggantikan Kerajaan Iran yang
telah berusia 2500 tahun mampu bertahan dari segala permusuhan negara adidaya
Amerika Serikat beserta sekutu-sekutunya; ini semua dapat dilakukan oleh sang
Imam berkat kehidupannya yang penuh bersahaja, wara, zuhud, arif yang
kesemuanya menuntut ketabahan, kesabaran dan ketangguhan karakter. Dan puasa, tentunya, ibadah yang turut membina karakter sang
Imam pemimpin revolusi yang pengaruhnya sampai hari ini masih dirasakan. (catt.
Baca pula Psikologi Agama karya Nico Syukur Dister, Kanisius, hal. 13).
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Hermeneutika : Matematika dan Puasa
Ditulis oleh Belajar Matematika
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://doyan-matematika.blogspot.com/2013/07/hermeneutika-matematika-dan-puasa.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Belajar Matematika
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar